Sumsel.co - Dalam sejarah panjang perjuangan kemerdekaan Indonesia, nama Sutan Sjahrir menempati posisi penting sebagai sosok cerdas, idealis, dan berwawasan luas. Ia bukan hanya dikenal sebagai Perdana Menteri pertama Republik Indonesia, tetapi juga sebagai intelektual muda yang berani memperjuangkan kemerdekaan melalui jalur diplomasi dan pemikiran rasional. Melalui artikel ini, kita akan mengenal lebih dalam profile tokoh Sutan Sjahrir, perjalanan hidupnya, serta warisan pemikiran yang masih relevan hingga kini.
Profil Tokoh Sutan Sjahrir
Latar Belakang dan Pendidikan
Sutan Sjahrir lahir pada 5 Maret 1909 di Padang Panjang, Sumatera Barat. Ia berasal dari keluarga terpelajar Minangkabau. Ayahnya, Mohammad Rasad, adalah seorang kontrolir pemerintahan Hindia Belanda — hal yang membuat Sjahrir terbiasa dengan lingkungan akademis dan disiplin sejak kecil.
Setelah menempuh pendidikan dasar di Medan, Sjahrir melanjutkan ke Hogere Burgerschool (HBS) di Bandung, sekolah menengah elit yang juga diikuti oleh tokoh-tokoh besar seperti Soekarno dan Mohammad Hatta. Semangat belajarnya yang tinggi membuatnya mendapat beasiswa ke Universitas Amsterdam, Belanda, untuk mempelajari hukum dan sosial-politik. Di negeri Belanda inilah kesadaran nasionalismenya tumbuh kuat.
Cerita Kehidupan Sutan Sjahrir
Awal Perjuangan di Belanda
Di masa studinya di Belanda, Sjahrir aktif dalam organisasi Perhimpunan Indonesia (PI) bersama tokoh seperti Mohammad Hatta. Melalui organisasi ini, ia memperjuangkan ide kemerdekaan Indonesia dengan cara intelektual — bukan dengan kekerasan, tetapi dengan argumentasi dan diplomasi.
Pemikirannya yang moderat dan logis membuatnya disegani, bahkan oleh kalangan Eropa. Ia menulis banyak artikel di media Belanda yang membela kemerdekaan Indonesia dan menentang kolonialisme.
Kembali ke Tanah Air dan Aktivisme Politik
Sekembalinya ke Indonesia pada tahun 1931, Sjahrir tidak langsung terjun ke pemerintahan, tetapi aktif dalam pendidikan dan pergerakan rakyat. Ia membantu membangun Perguruan Nasional Indonesia di Jakarta, sebuah lembaga pendidikan yang menanamkan semangat kebangsaan pada generasi muda.
Tak lama kemudian, ia terlibat dalam Partai Indonesia (Partindo) dan berbagai gerakan bawah tanah yang menentang penjajahan Belanda. Karena aktivitas politiknya yang dianggap mengancam pemerintah kolonial, Sjahrir ditangkap dan dibuang ke Boven Digoel, lalu ke Banda Neira — tempat di mana ia banyak menulis dan merenungkan strategi perjuangan bangsa.
Peran dalam Proklamasi dan Pemerintahan
Setelah Jepang menyerah pada Sekutu tahun 1945, Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Namun, perjuangan belum berakhir. Saat itu, dunia internasional masih meragukan eksistensi Republik Indonesia. Dalam situasi genting tersebut, Sutan Sjahrir tampil sebagai diplomat ulung.
Pada tahun 1945 hingga 1947, Sjahrir menjabat sebagai Perdana Menteri pertama Republik Indonesia. Ia berperan penting dalam menjalin hubungan diplomatik dengan negara-negara Barat dan memperjuangkan pengakuan kedaulatan Indonesia di mata dunia.
Berbeda dengan Soekarno yang karismatik dan emosional, Sjahrir dikenal sebagai pemimpin rasional dan moderat. Ia percaya bahwa perjuangan harus dilakukan melalui negosiasi cerdas dan politik luar negeri yang bijak, bukan hanya melalui pertempuran fisik.
Pemikiran dan Warisan Intelektual Sutan Sjahrir
Sutan Sjahrir dikenal sebagai sosok intelektual sejati. Ia menulis buku dan esai yang menggambarkan pemikiran politik dan moralitas bangsa, salah satunya berjudul “Perjuangan Kita” (1945). Buku ini menjelaskan pandangannya tentang arti kemerdekaan, demokrasi, dan tanggung jawab moral kaum muda terhadap bangsa.