Sumsel.co - Jenderal A.H. Nasution merupakan salah satu tokoh besar dalam sejarah Indonesia yang dikenal sebagai pejuang kemerdekaan, pemimpin militer, dan pemikir strategi pertahanan bangsa. Namanya selalu melekat dalam perjalanan panjang perjuangan Indonesia, mulai dari masa revolusi hingga pembentukan stabilitas nasional. Melalui biografi Jenderal A.H. Nasution, kita dapat memahami nilai-nilai perjuangan, kedisiplinan, dan dedikasi seorang prajurit sejati yang berkontribusi besar bagi bangsa dan negara.
Awal Kehidupan dan Pendidikan Jenderal A.H. Nasution
Cerita kehidupan Jenderal A.H. Nasution dimulai di Kotanopan, Sumatera Utara, pada 3 Desember 1918. Ia lahir dari keluarga sederhana yang sangat menjunjung tinggi pendidikan. Sejak kecil, Nasution menunjukkan kecerdasan dan semangat belajar yang tinggi. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar di HIS, ia melanjutkan ke MULO di Bukittinggi dan AMS di Bandung — jenjang pendidikan yang kala itu hanya bisa dicapai oleh segelintir anak bangsa.
Ketertarikannya terhadap dunia militer muncul ketika ia memasuki Sekolah Militer Belanda (KMA) di Bandung. Di sinilah bibit kepemimpinan dan kecintaannya terhadap tanah air mulai tumbuh kuat.
Peran Jenderal A.H. Nasution dalam Perjuangan Kemerdekaan
Saat Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, A.H. Nasution segera bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR), cikal bakal TNI. Ia kemudian dipercaya memimpin Divisi III di Jawa Barat. Namun perjuangannya tidak selalu mulus. Pada masa agresi militer Belanda, ia menjadi salah satu tokoh penting yang mengatur strategi perang gerilya, yang kemudian terkenal dengan konsep “Pertahanan Rakyat Semesta” — strategi militer yang menjadikan seluruh rakyat sebagai bagian dari pertahanan negara.
Konsep tersebut kelak menjadi dasar sistem pertahanan Indonesia modern. Melalui gagasan ini, Jenderal A.H. Nasution memperlihatkan keahliannya sebagai seorang pemikir militer yang visioner.
Kiprah dan Tantangan di Masa Pemerintahan
Setelah pengakuan kedaulatan Indonesia tahun 1949, karier Jenderal A.H. Nasution terus menanjak. Ia pernah menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) dan berperan penting dalam menata ulang struktur TNI. Namun, perjalanan hidupnya juga diwarnai banyak ujian.
Salah satu peristiwa paling kelam dalam cerita kehidupan Jenderal A.H. Nasution adalah tragedi G30S/PKI tahun 1965. Dalam peristiwa itu, rumahnya diserang dan putrinya, Ade Irma Suryani Nasution, menjadi korban. Peristiwa tersebut menjadi luka mendalam sekaligus bukti nyata pengorbanan yang harus ia tanggung demi bangsa dan negara.
Meskipun demikian, Nasution tetap teguh. Ia terus memperjuangkan nilai-nilai nasionalisme, keutuhan negara, dan profesionalisme TNI hingga akhir hayatnya.
Pemikiran dan Warisan Jenderal A.H. Nasution
Selain dikenal sebagai prajurit tangguh, A.H. Nasution juga merupakan pemikir dan penulis produktif. Ia menulis banyak buku tentang strategi militer, sejarah perjuangan bangsa, dan politik pertahanan. Beberapa karya pentingnya antara lain:
- Pokok-Pokok Gerilya
- Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia
- Memenuhi Panggilan Tugas
Tulisan-tulisannya menjadi referensi penting bagi generasi militer dan akademisi hingga kini. Pemikiran Nasution menekankan bahwa kekuatan bangsa tidak hanya terletak pada senjata, tetapi juga pada semangat rakyat yang bersatu mempertahankan kemerdekaan.
Penghargaan dan Akhir Hayat
Atas jasa-jasanya, Jenderal A.H. Nasution menerima berbagai penghargaan dari dalam dan luar negeri. Ia juga ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 2002. Nasution wafat pada 6 September 2000 di Jakarta dalam usia 81 tahun. Kepergiannya meninggalkan warisan besar: semangat juang, dedikasi terhadap negara, dan teladan kepemimpinan yang tidak lekang oleh waktu.