Sumsel.co - Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) memperketat sistem pengawasan terhadap distribusi telur di seluruh wilayahnya. Langkah ini dilakukan untuk memastikan produk telur yang beredar tetap higienis dan bebas dari potensi kontaminasi.
Pejabat Otoritas Veteriner Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan (DKPP) Sumsel, Jafrizal, di Palembang, Senin, menyampaikan bahwa pemerintah daerah memiliki tanggung jawab besar dalam menjamin standar kebersihan dan sanitasi produk hewani, khususnya telur. Ia menekankan pentingnya pengawasan yang dilakukan secara berjenjang mulai dari peternakan, gudang penyimpanan, hingga ke ritel atau toko tempat penjualan.
Menurutnya, ketentuan ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah Nomor 95 Tahun 2012 yang mengatur kewajiban pemerintah pusat dan daerah dalam menjamin higiene dan sanitasi produk hewan. Karena itu, tidak hanya peternak yang diwajibkan memiliki sertifikat Nomor Kontrol Veteriner (NKV), tetapi juga gudang, tempat pengolahan, dan ritel.
“Banyak yang keliru menganggap NKV hanya wajib untuk peternak ayam petelur, padahal sertifikat ini juga harus dimiliki gudang, tempat pengolahan, hingga kios dan toko, karena risiko kontaminasi dapat terjadi di setiap rantai distribusi pangan,” katanya.
Jafrizal menjelaskan, kesalahan dalam proses penyimpanan menjadi penyebab utama telur mudah terkontaminasi. Dengan adanya sertifikat NKV, pengelola gudang dan ritel akan mendapatkan edukasi mengenai cara penyimpanan dan tata kelola yang baik.
“Telur yang awalnya sehat bisa berubah jadi berbahaya bila ditangani di tempat yang kotor, dijual di kios yang penuh debu, atau ditangani oleh pekerja yang tidak menjaga kebersihan,” jelasnya.
Ia juga menyoroti pentingnya kondisi penyimpanan yang stabil dan terkontrol. Banyak toko, menurutnya, belum memperhatikan pengaturan suhu ruang penyimpanan yang ideal bagi produk hewani. Sertifikat NKV, kata Jafrizal, bukan sekadar dokumen administratif, tetapi jaminan bahwa produk yang dikonsumsi masyarakat aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH).
Melalui pembinaan dan edukasi berkelanjutan, pemerintah berharap para pedagang dan pelaku usaha memahami serta mampu menerapkan standar yang ditetapkan.
“Bahwa dari kandang hingga ke meja makan, setiap produk yang dikonsumsi masyarakat harus melewati rantai pengawasan yang ketat. Hanya dengan cara itu kita bisa memastikan setiap butir telur yang sampai di tangan rakyat benar-benar menjadi sumber gizi, bukan sumber penyakit,” tegas Jafrizal.