Sumsel.co - Di Desa Sleman, Kecamatan Tanjung Agung, suara ledakan tambang ilegal dulu menjadi bagian keseharian warga. Rasa was-was selalu menghantui, mulai dari ancaman kecelakaan, debu pekat, hingga razia aparat.
Namun, situasi itu perlahan berubah setelah PT Bukit Asam Tbk (PTBA) meluncurkan program Transformasi Pertambangan Tanpa Izin (PETI) yang kini berkembang menjadi Desa Impian.
Program tersebut mengajak masyarakat beralih dari aktivitas tambang ilegal menuju sektor agrikultur. Tanah bekas galian kini dimanfaatkan untuk kegiatan produktif, membangun ekonomi lokal, memperkuat ketahanan pangan, sekaligus memberi kehidupan baru bagi warga.
Tonidi, salah satu warga yang pernah bergelut di PETI, merasakan langsung perubahan itu. Pada Februari 2024, ia masih bekerja di tambang ilegal hingga akhirnya bertemu dengan perwakilan PTBA yang menawarkan jalan baru. “Bagi saya, ini angin segar,” kata Tonidi. Ia mengakui sejak lama sadar bahwa aktivitas PETI penuh risiko dan melanggar hukum.
Kesempatan tersebut tak disia-siakan. Tonidi memilih meninggalkan tambang dan kini menjadi ketua kelompok Budidaya Burung Puyuh Bangsal Pematang.
“Jadi dengan adanya program ini, saya pribadi merasa sangat senang karena saya dan teman-teman akhirnya mendapatkan peluang untuk bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih layak, aman dan bermartabat,” imbuhnya.
Program Desa Impian menyediakan berbagai pilihan usaha, mulai dari ikan, belut, hingga kambing. Namun Tonidi memilih beternak puyuh karena dianggap lebih mudah dirawat, tingkat keberhasilannya tinggi, serta hasilnya menguntungkan. Bahkan limbah kotoran puyuh dapat dimanfaatkan kembali sebagai pakan ikan sehingga tercipta siklus usaha yang berkesinambungan.
Awalnya, kelompok ini mendapat pelatihan dasar dan 200 ekor puyuh pada Maret 2024. Karena menunjukkan hasil positif, PTBA menambah dukungan hingga kini populasi mencapai 3.000 ekor. Produksi telur harian berkisar 23–25 kilogram yang kemudian dipasarkan ke Tanjung Enim, Muara Enim, hingga Baturaja dengan harga rata-rata Rp36.000 per kilogram di Tanjung Enim dan Rp34.000 di Baturaja.
Setelah biaya operasional dipotong, keuntungan bersih cukup untuk membayar anggota aktif setara UMR. Dari 10 anggota kelompok, 4 orang mengelola kandang setiap hari, sementara lainnya membantu sesuai kebutuhan.
Bagi kelompok Bangsal Pematang, ini baru langkah awal. Mereka berharap usaha puyuh terus berkembang, membuka lapangan kerja lebih luas, serta mendorong masyarakat sekitar meninggalkan tambang ilegal. “Terima kasih yang sebesar-besarnya untuk PTBA yang sudah peduli dan mendukung kami. Harapan kami, semoga PTBA terus membersamai kami dalam mengembangkan budidaya puyuh ini agar manfaatnya makin luas,” tutup Tonidi penuh harapan.