Sumsel.co - Indonesia dikenal dengan beragam kesenian tradisional yang mencerminkan identitas dan kearifan lokal di setiap daerah. Salah satunya adalah Tari Lading, tarian khas Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir (PALI), Sumatera Selatan. Tarian ini bukan sekadar hiburan, tetapi juga simbol perjuangan, ketangguhan, dan semangat masyarakat dalam mengolah ladang demi kehidupan yang lebih baik.
Sebagai bagian dari kekayaan budaya nusantara, Tari Lading memiliki makna yang mendalam. Gerakan, musik, dan kostum yang digunakan dalam tarian ini menggambarkan kerja keras petani sekaligus rasa syukur kepada Tuhan atas hasil panen yang melimpah.
Asal Usul Tari Lading
Asal usul Tari Lading tidak bisa dilepaskan dari kehidupan masyarakat agraris di wilayah PALI. Kata “lading” berasal dari bahasa daerah yang berarti ladang atau kebun. Tari ini lahir dari kebiasaan masyarakat setempat yang hidup bergantung pada hasil pertanian dan perkebunan, seperti padi, kopi, dan karet.
Dahulu, Tari Lading sering ditampilkan dalam acara adat dan upacara syukuran panen sebagai bentuk rasa terima kasih kepada Tuhan atas rezeki yang diberikan. Gerakannya terinspirasi dari aktivitas petani di ladang—mulai dari menanam, mencangkul, hingga memanen hasil bumi. Seiring waktu, tarian ini berkembang menjadi bagian dari pertunjukan budaya yang dibanggakan masyarakat PALI.
Sejarah Tari Lading
Sejarah Tari Lading bermula dari kebiasaan masyarakat yang ingin mengekspresikan semangat kerja keras dan rasa syukur melalui gerakan tari. Tarian ini pertama kali dikenal pada masa lampau sebagai bentuk hiburan setelah musim panen. Para pemuda dan pemudi berkumpul di balai desa untuk menari bersama sambil memainkan alat musik tradisional seperti gendang, kenong, dan seruling bambu.
Dalam perkembangannya, Tari Lading mulai diajarkan di sekolah-sekolah dan sanggar seni di PALI. Pemerintah daerah pun mendukung pelestariannya dengan menjadikannya salah satu ikon budaya lokal. Kini, Tari Lading sering ditampilkan pada acara resmi daerah, festival budaya, hingga perayaan hari jadi Kabupaten PALI.
Selain melestarikan tradisi, Tari Lading juga berperan penting dalam memperkuat identitas daerah serta memperkenalkan budaya PALI ke tingkat nasional bahkan internasional.
Makna dan Filosofi di Balik Tari Lading
Simbol Semangat dan Rasa Syukur
Tari Lading bukan hanya tarian biasa. Setiap gerakan dan ekspresi penarinya memiliki makna filosofis. Gerakan mengayun tangan, menunduk, dan melangkah cepat menggambarkan semangat pantang menyerah masyarakat petani. Sementara itu, gerakan berputar dan mengangkat tangan melambangkan rasa syukur atas hasil panen.
Busana yang dikenakan para penari juga sarat simbol. Warna hijau dan cokelat yang dominan merepresentasikan kesuburan tanah dan alam yang menjadi sumber kehidupan masyarakat. Properti seperti alat pertanian (ani-ani atau sabit) digunakan untuk memperkuat kesan perjuangan dan kerja keras di ladang.
Tari Lading Sebagai Identitas Budaya PALI
Pelestarian Tari Lading di Era Modern
Di tengah arus modernisasi dan globalisasi, Tari Lading tetap menjadi kebanggaan masyarakat PALI. Pemerintah daerah, komunitas seni, dan para generasi muda terus berupaya menjaga eksistensinya melalui berbagai cara, seperti:
- Mengadakan festival budaya daerah yang menampilkan Tari Lading.
- Mengintegrasikan tarian ini ke dalam kegiatan pendidikan dan pelatihan seni tradisional.
- Menggunakan media sosial untuk memperkenalkan Tari Lading ke masyarakat luas.
Langkah-langkah ini membuktikan bahwa meskipun zaman terus berubah, nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Tari Lading tetap relevan dan layak dijaga.