Sumsel.co – Sejumlah wali murid di Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) melaporkan seorang oknum guru SD Negeri 01 OKU berinisial SA ke Dinas Pendidikan. Laporan ini menyusul kebijakan kelas yang dinilai tidak manusiawi dan menimbulkan dampak psikologis terhadap siswa.
SA yang diketahui merupakan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) dan menjabat wali kelas 2B, disebut-sebut membuat perjanjian kelas tanpa persetujuan sekolah maupun wali murid. Salah satu pasal dalam aturan tersebut menyatakan bahwa siswa yang tidak hadir selama tiga hari berturut-turut karena sakit akan langsung dikeluarkan dari sekolah.
Kebijakan itu memicu keresahan para orang tua. Salah satunya, Emilia (40), mengaku kecewa berat karena anaknya yang tengah sakit terancam dikeluarkan dari sekolah. “Saya sangat kecewa dan tidak terima dengan peraturan yang dibuat oleh guru itu karena sangat otoriter. Anak saya tiga hari tidak masuk sekolah karena sakit, tapi guru itu tidak ada toleransi dan ingin memberhentikan anak saya,” ujarnya, Jumat (25/7/2025).
Ketika diminta kebijakan oleh wali murid, SA justru mengaku sebagai keluarga Bupati OKU, Teddy Meilwansyah. Hal ini makin menyulut kemarahan orang tua siswa yang merasa tidak mendapat perlakuan adil.
Merasa tidak menemukan solusi, sejumlah wali murid akhirnya melapor ke Kepala SDN 01 OKU serta langsung ke Dinas Pendidikan Kabupaten OKU.
Kepala Sekolah Drs Amrullah, S.Pd., MM, membenarkan bahwa aturan tersebut memang dibuat oleh SA. Namun ia menyatakan bahwa guru bersangkutan tidak pernah menyampaikan isi perjanjian tersebut ke pihak sekolah. “Benar, itu perjanjian yang dibuat wali kelas 2B, ibu SA. Salah satu poinnya menyebutkan murid yang tidak masuk selama tiga hari karena sakit akan dikeluarkan. Tapi sampai sekarang SA belum menyampaikan perjanjian itu ke saya, sehingga saya belum bisa mengambil keputusan,” ujar Amrullah.
Ia menambahkan bahwa setiap wali kelas memang diperbolehkan membuat perjanjian kelas untuk mendukung kedisiplinan, namun isi perjanjian harus dikonsultasikan terlebih dahulu dan tidak boleh melampaui batas kewenangan guru. “Perjanjian semestinya seperti larangan rambut panjang atau datang terlambat. Jika dilanggar, sanksinya seperti rambut dipotong atau orang tua dipanggil. Tapi untuk sanksi berat seperti dikeluarkan, itu di luar kewenangan wali kelas,” jelasnya.
Mengenai pengakuan SA sebagai keluarga bupati, Amrullah menyatakan bahwa informasi tersebut telah diketahui oleh sebagian besar guru di sekolah. “Kalau masalah itu, benar. 80 persen guru tahu SA itu keluarga bupati. Dia juga sering mengaku begitu,” katanya.
Dampak dari kebijakan SA juga disebut-sebut telah menimbulkan trauma pada sejumlah siswa. Seorang anak dari kelas 2B dikabarkan enggan masuk sekolah dan menolak berbicara saat diajak kembali belajar. “Setelah dibujuk dan dipindah ke kelas lain, barulah anak itu mau kembali bersekolah. Artinya, aturan itu sudah membuat anak-anak ketakutan,” ungkap Asbarudin, wali murid lainnya.