Sumsel.co - Cut Meutia lahir pada tahun 1870 di Keureutoe, Aceh Utara. Ia berasal dari keluarga terpandang dan religius, yang menanamkan nilai keberanian, keadilan, dan cinta tanah air sejak kecil. Latar belakang Cut Meutia sebagai perempuan bangsawan Aceh tidak membuatnya hidup dalam kemewahan, melainkan mengajarkan tanggung jawab terhadap rakyat dan tanah kelahirannya.
Dibesarkan dalam lingkungan yang menjunjung tinggi nilai adat dan agama, Cut Meutia tumbuh menjadi sosok perempuan yang cerdas, tegas, dan berjiwa pemimpin. Pendidikan yang diterimanya membuatnya peka terhadap penderitaan rakyat akibat penjajahan Belanda. Semangat perjuangan yang mengalir dalam darahnya menjadi dasar keberaniannya untuk terjun langsung ke medan perang.
Biografi Cut Meutia: Perjalanan Hidup Sang Pejuang
Cut Meutia menikah dengan Teuku Muhammad atau yang dikenal sebagai Teuku Cik Tunong, seorang pemimpin perlawanan rakyat Aceh terhadap kolonial Belanda. Dalam perkawinan tersebut, keduanya memiliki cita-cita yang sama: membebaskan Aceh dari cengkeraman penjajahan.
Bersama suaminya, Cut Meutia ikut memimpin pasukan dalam berbagai pertempuran. Ia dikenal bukan hanya sebagai istri pejuang, tetapi juga sebagai panglima yang gagah berani. Strateginya dalam menyerang pos-pos Belanda di daerah pedalaman membuat pasukan kolonial kewalahan.
Namun perjuangan mereka tidak mudah. Pada tahun 1905, Teuku Cik Tunong tertangkap dan dieksekusi oleh Belanda. Meski kehilangan suami tercinta, semangat juang Cut Meutia tidak pernah padam. Ia kemudian melanjutkan perjuangan bersama Pang Nanggroe, salah satu komandan kepercayaannya.
Perjuangan Cut Meutia Melawan Penjajahan
Setelah wafatnya suaminya, Cut Meutia memimpin sisa pasukan untuk terus melawan Belanda di wilayah pedalaman Aceh. Dengan keberanian luar biasa, ia berulang kali menyerang markas Belanda dan menolak menyerah meski pasukannya semakin berkurang.
Cut Meutia dikenal memiliki taktik gerilya yang cerdas. Ia sering memanfaatkan medan hutan Aceh yang lebat untuk bersembunyi dan menyusun strategi serangan mendadak. Bagi rakyat Aceh, Cut Meutia bukan hanya simbol perlawanan, tetapi juga lambang keteguhan hati seorang perempuan dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsanya.
Pada tahun 1910, perjuangan Cut Meutia mencapai akhir ketika ia gugur dalam pertempuran di Alue Kurieng. Meskipun demikian, semangat juangnya tetap hidup dalam hati rakyat Aceh dan seluruh bangsa Indonesia.
Nilai Kepahlawanan dan Warisan Perjuangan Cut Meutia
Keberanian dan keteguhan Cut Meutia menjadi inspirasi bagi generasi muda Indonesia. Ia menunjukkan bahwa perjuangan tidak mengenal gender — bahwa perempuan juga memiliki peran penting dalam sejarah bangsa.
Nilai-nilai yang diwariskan Cut Meutia, seperti keberanian, kesetiaan, dan pengorbanan, masih relevan hingga kini. Pemerintah Republik Indonesia kemudian menetapkan Cut Meutia sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 1964 sebagai bentuk penghargaan atas jasa-jasanya.
Nama Cut Meutia kini diabadikan dalam berbagai tempat dan simbol nasional, mulai dari nama jalan di berbagai kota hingga gambar dirinya yang terpampang pada uang kertas Rp1.000 edisi lama. Semua ini menjadi pengingat akan keberanian luar biasa seorang perempuan Aceh yang berjuang hingga akhir hayatnya demi kemerdekaan bangsa.