Sumsel.co - Provinsi Sumatera Selatan mencatatkan sejarah baru dalam perlindungan perempuan dan anak. Di bawah kepemimpinan Gubernur H. Herman Deru, Sumsel menjadi provinsi pertama di Indonesia yang menggagas program komprehensif untuk mencegah perkawinan anak serta memperkuat perlindungan hukum dan sosial pascaperceraian.
Langkah progresif ini diwujudkan melalui penandatanganan Kesepakatan Bersama antara Pemerintah Provinsi Sumsel dan Pengadilan Tinggi Agama Palembang, berlangsung di Griya Agung, Palembang pada Selasa (22/7). Dalam kesempatan yang sama, seluruh Bupati dan Wali Kota di Sumsel juga menandatangani perjanjian kerja sama dengan Pengadilan Tinggi Agama.
"Ini adalah langkah nyata dan komitmen kami dalam melindungi generasi penerus bangsa dari dampak negatif perkawinan usia dini dan perceraian," ujar Herman Deru. Ia menyoroti bahwa anak-anak yang terdampak perceraian sering mengalami tekanan psikologis berat, bukan hanya dari sisi ekonomi, namun juga kepercayaan diri dan perkembangan sosial yang terganggu.
Gubernur menegaskan bahwa dampak psikologis akibat perceraian bisa lebih buruk dari kehilangan orang tua karena meninggal dunia. "Kalau sudah minder, pemikiran anak jadi tertutup dan masa depannya bisa suram," tegasnya.
Langkah ini mendapat pengakuan dari Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI, Drs. H. Muchlis, S.H., M.H., yang menyebut kebijakan ini sebagai "tinta emas" dalam sejarah kerja sama antara lembaga peradilan agama dan pemerintah daerah. Ia memandang kolaborasi ini sebagai model ideal yang bisa ditiru oleh daerah lain, dan bahkan berencana melaporkannya langsung ke Mahkamah Agung.
"Kami ingin memastikan bahwa hak perempuan dan anak, seperti nafkah pasca perceraian dan perlindungan sosial, dapat dijamin dan mudah diakses," ujar Muchlis.
Sementara itu, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Sumsel, Fitriana, S.Sos, M.Si, menyebut kerja sama ini muncul dari keprihatinan atas masih tingginya angka perkawinan anak di Sumsel. Berdasarkan data BPS 2024, angka perkawinan anak di Sumsel mencapai 8,45 persen, tertinggi ke-10 dari 38 provinsi di Indonesia. Selain itu, data Pengadilan Tinggi Agama Palembang mengungkapkan ada 891 dispensasi perkawinan anak sepanjang tahun lalu.
Fitriana mengungkapkan bahwa perkawinan anak menyimpan risiko besar, mulai dari kesehatan mental, risiko kekerasan dalam rumah tangga, stunting, hingga perceraian dini yang melahirkan lingkaran kemiskinan baru.
"Dengan kerja sama ini, kami berharap setiap perempuan dan anak memiliki jaminan hukum dan sosial yang kuat, sekaligus mengakhiri siklus perkawinan dini yang merugikan masa depan mereka," pungkas Fitri.